Sabtu, 26 Maret 2016
Bosan Menjalani Hidup
Ini
merupakan kisah yang dikutip dari sebuah fanspage di facebook. Sebuah
kisah yang sangat menarik. Mari kita simak kisah di bawah ini!
Seorang pria paruh baya mendatangi seorang guru ngaji, “Ustad, saya sudah bosan hidup. Sudah jenuh betul. Rumah tangga saya berantakan. Usaha saya kacau. Apapun yang saya lakukan selalu berantakan. Saya ingin mati.”
Sang Ustad pun tersenyum, “Oh, kamu sakit.”
“Tidak Ustad, saya tidak sakit. Saya sehat. Hanya jenuh dengan kehidupan. Itu sebabnya saya ingin mati.”
Seolah-olah tidak mendengar pembelaannya, sang Ustad meneruskan. “Kamu sakit. Dan penyakitmu itu sebutannya, ‘Alergi Hidup’. Ya, kamu alergi terhadap kehidupan.”
Banyak sekali di antara kita yang alergi terhadap kehidupan. Kemudian, tanpa disadari kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma kehidupan.Hidup ini berjalan terus. Sungai kehidupan mengalir terus, tetapi kita menginginkan status-quo.
Kita berhenti di tempat, kita tidak ikut mengalir. Itu sebabnya kita jatuh sakit. Kita mengundang penyakit. Resistensi kita, penolakan kita untuk ikut mengalir bersama kehidupan membuat kita sakit. Yang namanya usaha, pasti ada pasang-surutnya. Dalam hal berumah-tangga, bentrokan-bentrokan kecil itu memang wajar, lumrah. Persahabatan pun tidak selalu langgeng, tidak abadi. Apa sih yang langgeng dan yang abadi dalam hidup ini? Kita tidak menyadari sifat kehidupan.Kita ingin mempertahankan suatu keadaan. Kemudian kita gagal, kecewa dan menderita.
“Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu ingin sembuh dan bersedia mengikuti petunjukku,” demikian ujar sang Ustad.
“Tidak Ustad, tidak. Saya sudah betul-betul jenuh. Tidak, saya tidak ingin hidup,” pria itu menolak tawaran sang Ustad.
“Jadi kamu tidak ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin mati?”
“Ya, memang saya sudah bosan hidup.”
“Baik, besok sore kamu akan mati. Ambilah botol obat ini. Setengah botol diminum malam ini, setengah botol lagi besok sore jam enam, dan jam delapan malam kau akan mati dengan tenang.”
Giliran dia menjadi bingung. Setiap Ustad yang ia datangi selama ini selalu berupaya untuk memberikannya semangat untuk hidup. Tapi ustadz yang satu ini aneh. malah Ia bahkan menawarkan racun. Tetapi, karena ia memang sudah betul-betul jenuh, ia menerimanya dengan senang hati.
Pulang kerumah, ia langsung menghabiskan setengah botol racun yang disebut “obat” oleh Ustad edan itu. Dan ia merasakan ketenangan sebagaimana yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Begitu rileks, begitu santai. Tinggal 1 malam, 1 hari, dan ia akan mati. Ia akan terbebaskan dari segala macam masalah.
Malam itu, ia memutuskan untuk makan malam bersama keluarga di restoran masakan Jepang.Sesuatu yang sudah tidak pernah ia lakukan selama beberapa tahun terakhir. Pikir-pikir malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis. Sambil makan, ia bersenda gurau. Suasananya santai sekali. Sebelum tidur, ia mencium bibir istrinya dan berbisik di telinganya.
“Sayang, aku mencintaimu.” Karena malam itu adalah malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis.
Esoknya bangun tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat ke luar. Tiupan angin pagi menyegarkan tubuhnya. Dan ia tergoda untuk melakukan jalan pagi. Pulang kerumah setengah jam kemudian, ia menemukan istrinya masih tertidur. Tanpa membangunkannya, ia masuk dapur dan membuat 2 cangkir kopi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya. Karena pagi itu adalah pagi terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis. Sang istripun merasa aneh sekali.
“Mas, apa yang terjadi hari ini? Selama ini, mungkin aku salah. Maafkan aku, mas.”
Di kantor, ia menyapa setiap orang dan bersalaman dengan setiap orang. Stafnya pun bingung, “Hari ini, Bos kita kok aneh ya?”
Dan sikap mereka pun langsung berubah. Mereka pun menjadi lembut. Karena siang itu adalah siang terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis. Tiba-tiba, segala sesuatu di sekitarnya berubah. Ia menjadi ramah dan lebih toleran, bahkan apresiatif terhadap pendapat-pendapat yang berbeda. Tiba-tiba hidup menjadi indah. Ia mulai menikmatinya.
Pulang kerumah jam 5 sore, ia menemukan istri tercinta menungguinya di beranda depan.
Kali ini justru sang istri yang memberikan ciuman kepadanya, “Mas, sekali lagi aku minta maaf, kalau selama ini aku selalu merepotkan kamu.”
Anak-anak pun tidak ingin ketinggalan, “Ayah, maafkan kami semua. Selama ini, ayah selalu stres karena perilaku kami semua.”
Tiba-tiba, sungai kehidupannya mengalir kembali. Tiba-tiba, hidup menjadi sangat indah. Ia membatalkan niatnya untuk bunuh diri. Tetapi, bagaimana dengan setengah botol yang sudah ia minum sore sebelumnya?
”Ya Allah, apakah maut akan datang kepadaku. Tundalah kematian itu ya Allah. Aku takut sekali jika aku harus meninggalkan dunia ini." Ia pun buru-buru mendatangi sang Ustad yang telah memberi racun kepadanya.
Sesampainya di rumah ustad tersebut, pria itu langsung mengatakan bahwa ia akan membatalkan kematiannya. Karena ia takut sekali jika ia harus kembali kehilangan semua hal yang telah membuat dia menjadi hidup kembali.
Apa yg terjadi, melihat wajah pria itu, rupanya sang Ustad langsung mengetahui apa yang telah terjadi. Sang ustad pun berkata,
“Buang saja botol itu. Isinya air biasa kok. Kau sudah sembuh. Apabila kau hidup dalam kepasrahan, apabila kau hidup dengan kesadaran bahwa maut dapat menjemputmu kapan saja, maka kau akan menikmati setiap detik kehidupan. Leburkan egomu, keangkuhanmu, kesombonganmu. Jadilah lembut, selembut air. Dan mengalirlah bersama sungai kehidupan. Kau tidak akan jenuh, tidak akan bosan. Kau akan merasa hidup. Itulah rahasia kehidupan. Itulah kunci kebahagiaan. Itulah jalan menuju ketenangan. percayalah .. Allah bersama kita."
Kemudian pria itu mengucapkan terima kasih dan menyalami Sang Ustad, lalu pulang ke rumah, untuk mengulangi pengalaman malam sebelumnya. Ah, indahnya dunia ini ……
Seorang pria paruh baya mendatangi seorang guru ngaji, “Ustad, saya sudah bosan hidup. Sudah jenuh betul. Rumah tangga saya berantakan. Usaha saya kacau. Apapun yang saya lakukan selalu berantakan. Saya ingin mati.”
Sang Ustad pun tersenyum, “Oh, kamu sakit.”
“Tidak Ustad, saya tidak sakit. Saya sehat. Hanya jenuh dengan kehidupan. Itu sebabnya saya ingin mati.”
Seolah-olah tidak mendengar pembelaannya, sang Ustad meneruskan. “Kamu sakit. Dan penyakitmu itu sebutannya, ‘Alergi Hidup’. Ya, kamu alergi terhadap kehidupan.”
Banyak sekali di antara kita yang alergi terhadap kehidupan. Kemudian, tanpa disadari kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma kehidupan.Hidup ini berjalan terus. Sungai kehidupan mengalir terus, tetapi kita menginginkan status-quo.
Kita berhenti di tempat, kita tidak ikut mengalir. Itu sebabnya kita jatuh sakit. Kita mengundang penyakit. Resistensi kita, penolakan kita untuk ikut mengalir bersama kehidupan membuat kita sakit. Yang namanya usaha, pasti ada pasang-surutnya. Dalam hal berumah-tangga, bentrokan-bentrokan kecil itu memang wajar, lumrah. Persahabatan pun tidak selalu langgeng, tidak abadi. Apa sih yang langgeng dan yang abadi dalam hidup ini? Kita tidak menyadari sifat kehidupan.Kita ingin mempertahankan suatu keadaan. Kemudian kita gagal, kecewa dan menderita.
“Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu ingin sembuh dan bersedia mengikuti petunjukku,” demikian ujar sang Ustad.
“Tidak Ustad, tidak. Saya sudah betul-betul jenuh. Tidak, saya tidak ingin hidup,” pria itu menolak tawaran sang Ustad.
“Jadi kamu tidak ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin mati?”
“Ya, memang saya sudah bosan hidup.”
“Baik, besok sore kamu akan mati. Ambilah botol obat ini. Setengah botol diminum malam ini, setengah botol lagi besok sore jam enam, dan jam delapan malam kau akan mati dengan tenang.”
Giliran dia menjadi bingung. Setiap Ustad yang ia datangi selama ini selalu berupaya untuk memberikannya semangat untuk hidup. Tapi ustadz yang satu ini aneh. malah Ia bahkan menawarkan racun. Tetapi, karena ia memang sudah betul-betul jenuh, ia menerimanya dengan senang hati.
Pulang kerumah, ia langsung menghabiskan setengah botol racun yang disebut “obat” oleh Ustad edan itu. Dan ia merasakan ketenangan sebagaimana yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Begitu rileks, begitu santai. Tinggal 1 malam, 1 hari, dan ia akan mati. Ia akan terbebaskan dari segala macam masalah.
Malam itu, ia memutuskan untuk makan malam bersama keluarga di restoran masakan Jepang.Sesuatu yang sudah tidak pernah ia lakukan selama beberapa tahun terakhir. Pikir-pikir malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis. Sambil makan, ia bersenda gurau. Suasananya santai sekali. Sebelum tidur, ia mencium bibir istrinya dan berbisik di telinganya.
“Sayang, aku mencintaimu.” Karena malam itu adalah malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis.
Esoknya bangun tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat ke luar. Tiupan angin pagi menyegarkan tubuhnya. Dan ia tergoda untuk melakukan jalan pagi. Pulang kerumah setengah jam kemudian, ia menemukan istrinya masih tertidur. Tanpa membangunkannya, ia masuk dapur dan membuat 2 cangkir kopi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya. Karena pagi itu adalah pagi terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis. Sang istripun merasa aneh sekali.
“Mas, apa yang terjadi hari ini? Selama ini, mungkin aku salah. Maafkan aku, mas.”
Di kantor, ia menyapa setiap orang dan bersalaman dengan setiap orang. Stafnya pun bingung, “Hari ini, Bos kita kok aneh ya?”
Dan sikap mereka pun langsung berubah. Mereka pun menjadi lembut. Karena siang itu adalah siang terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis. Tiba-tiba, segala sesuatu di sekitarnya berubah. Ia menjadi ramah dan lebih toleran, bahkan apresiatif terhadap pendapat-pendapat yang berbeda. Tiba-tiba hidup menjadi indah. Ia mulai menikmatinya.
Pulang kerumah jam 5 sore, ia menemukan istri tercinta menungguinya di beranda depan.
Kali ini justru sang istri yang memberikan ciuman kepadanya, “Mas, sekali lagi aku minta maaf, kalau selama ini aku selalu merepotkan kamu.”
Anak-anak pun tidak ingin ketinggalan, “Ayah, maafkan kami semua. Selama ini, ayah selalu stres karena perilaku kami semua.”
Tiba-tiba, sungai kehidupannya mengalir kembali. Tiba-tiba, hidup menjadi sangat indah. Ia membatalkan niatnya untuk bunuh diri. Tetapi, bagaimana dengan setengah botol yang sudah ia minum sore sebelumnya?
”Ya Allah, apakah maut akan datang kepadaku. Tundalah kematian itu ya Allah. Aku takut sekali jika aku harus meninggalkan dunia ini." Ia pun buru-buru mendatangi sang Ustad yang telah memberi racun kepadanya.
Sesampainya di rumah ustad tersebut, pria itu langsung mengatakan bahwa ia akan membatalkan kematiannya. Karena ia takut sekali jika ia harus kembali kehilangan semua hal yang telah membuat dia menjadi hidup kembali.
Apa yg terjadi, melihat wajah pria itu, rupanya sang Ustad langsung mengetahui apa yang telah terjadi. Sang ustad pun berkata,
“Buang saja botol itu. Isinya air biasa kok. Kau sudah sembuh. Apabila kau hidup dalam kepasrahan, apabila kau hidup dengan kesadaran bahwa maut dapat menjemputmu kapan saja, maka kau akan menikmati setiap detik kehidupan. Leburkan egomu, keangkuhanmu, kesombonganmu. Jadilah lembut, selembut air. Dan mengalirlah bersama sungai kehidupan. Kau tidak akan jenuh, tidak akan bosan. Kau akan merasa hidup. Itulah rahasia kehidupan. Itulah kunci kebahagiaan. Itulah jalan menuju ketenangan. percayalah .. Allah bersama kita."
Kemudian pria itu mengucapkan terima kasih dan menyalami Sang Ustad, lalu pulang ke rumah, untuk mengulangi pengalaman malam sebelumnya. Ah, indahnya dunia ini ……
Kejujuran Sudah Tak Dihargai
Sebelum saya membahas lebih lanjut tentang judul artikel diatas, saya akan coba menjelaskan terlebih dahulu tentang apa itu makna kejujuran. Menurut saya, kejujuran merupakan kata sederhana yang memiliki makna istimewa. Karena kejujuran merupakan kunci dari segalanya.
Kejujuran berasal dari kata jujur
yang berarti menyatakan sesuatu dengan sebenar-benarnya baik dalam lisan,
perbuatan, maupun hati kita layaknya iman. Karena tanpa adanya ketiga hal itu,
kita semua belum bisa dikatakan sebagai orang yang jujur.
“Wong jujur bakal mujur lan wong
jujur bakal makmur." Pepatah jawa itu harus kita tanamkan dalam diri kita dan
harus kita yakini dengan sepenuh hati. Karena orang zaman dulu lebih-lebih
orang Jawa, jika menyatakan sesuatu tidak pernah main-main ataupun kor
njeplak. Orang zaman dulu membuat pepatah dengan penuh ijtihad, khususnya
para wali.
Kejujuran adalah kunci kebenaran.
Jika kita mengawali sesuatu dengan jujur, pasti selanjutnya akan terus jujur. Namun,
jika kita mengawali sesuatu dengan kebohongan, selanjutnya pasti akan membawa
kebohongan yang lain.
Ada sebuah kisah pada zaman nabi
Muhammad SAW. Yaitu tentang seorang pemuda ahli maksiat yang mau bertaubat.
Semua hal jelek pernah dilakukan pemuda itu, mulai dari berzina, minum arak,
maling, dan perbuatan dosa lainnya.
Sebelum bertaubat, ia menemui
Rasulullah dan mengajukan sebuah persyaratan. Sebuah persyaratan yang harus
dipenuhi Rasullullah.
“Ya Rasul, aku bersedia bertaubat
dan menjadi umatmu asalkan semua kebiasaanku tidak kau larang. Dan kau hanya
boleh melarang satu hal.” kata pemuda itu.
Lalu Rasulullah menjawabnya,
“Saya tidak akan melarang sesuatu
darimu, kecuali satu hal, yaitu Jujur.”
Satu hal yang kelihatannya mudah dan tidak memberatkan pemuda itu untuk bertaubat.
Suatu hari ketika pemuda itu sudah
masuk Islam, ia ingin berzina. Sebelum berzina ia bertanya pada sahabat,
"Apakah hukumnya orang yang berzina?”
“Hukum orang yang berzina ialah dirajam 100
kali.”
Lalu pemuda itu berfikir, bagaimana
jika Rasulullah bertanya padaku tentang apa yang telah aku lakukan? Bagaimana
aku harus menjawabnya? Ia bingung dan akhirnya pun ia tidak jadi berzina karena
takut akan berbohong.
Pada hari lain pemuda itu ingin
mencuri. Ia bertanya,
“Apakah hukumnya mencuri itu? ”
“Hukum mencuri ialah dipotong
tangannya.”
Pemuda itupun berfikir kembali,
bagaimana jika Rasulullah bertanya padaku tentang apa yang telah aku lakukan?
Bagaimana aku harus menjawabnya?
Akhirnya ia tidak jadi mencuri dan
tidak pula melakukan perbuatan maksiat lain selamanya karena takut untuk berbohong pada Rasulullah. Masyaallah...
Dulu orang sangat takut berbohong
karena kejujuran sangat dihargai. Tapi sekarang hanya satu banding sejuta orang
yang mau menghargai kejujuran. Kejujuran sudah dilupakan, kejujuran telah
dibunuh oleh orang-orang yang mengikuti perkembangan zaman tanpa didasari dengan
iman. Kejujuran dikalahkan oleh uang.
Orang miskin kalah di persidangan karena hukum bisa dibeli dengan uang.
Kemenangan hanya milik orang yang memiliki kekayaan.
Bisa kita lihat beberapa kasus di Indonesia. Banyak hakim yang memasang tarif dan memperjual belikan hukum.
Padahal jelas-jelas agama kita telah memberikan ancaman dalam Al-Qur’an
terhadap hakim-hakim yang tidak jujur. Tapi ia menghiraukan Al-Qur’an. Ia
hanya mengutamakan kesenangan dunia yang bersifat fana.
Tidak hanya dibidang hukum, tapi
juga dibidang pendidikan. Anggaran pendidikan menjadi proyek para tikus-tikus kantor.
Dari tingkat bawah sampai ke tingkat yang paling atas. Guru-guru hanya menghargai nilai,
mengabaikan proses, mengabaikan kemampuan siswa. Guru tidak menilai kejujuran.
Guru hanya menilai hasil ulangan yang jelas-jelas terjadi banyak kecurangan. Mereka
itu bukan guru, mereka hanya orang-orang yang bertopeng guru yang mengajarkan
kemunafikan. Meskipun masih ada seratus banding satu guru yang sangat
mementingkan kejujuran dan kemampuan.
Itulah yang mungkin menjadi alasan
orang untuk mencontek dan mengabaikan kejujuran. Alasan orang-orang yang tidak
mempertebal tembok iman dan tidak paham makna kejujuran. Naudzubillah...
Belajar Dari Gusdur
Siapa yang tidak kenal dengan yang namanya Gus Dur? Sosok yang mempunyai banyak kisah berharga yang bisa kita jadikan motivasi untuk menjadi seseorang yang lebih baik. Berikut ada penggalan kisah dari Gus Dur yang ditulis oleh Ahmad Tohari, salah satu budayawan berdasarkan pengalamannya bersama Gus Dur.
Kanjeng Nabi Muhammad SAW pernah tidur di lantai tanah beralaskan tikar dari daun kurma. Maka, ketika beliau bangun ada bekas guratan daun kurma pada pipi beliau. Hal serupa ternyata juga diamalkan mantan Presiden ke-4 RI KH. Abdurrahman
Wahid atau Gus Dur yang beberapa tahun lalu kembali ke haribaan Sang Khaliq.
Pada tahun 1995, Gus Dur tidur dua hari dua malam di rumah Ahmad Tohari yang sederhana di kampung. Malam
pertama, Gus Dur mau tidur di dipan kayu yang Ahmad Tohari sediakan. Tetapi, malam kedua beliau
memilih untuk tidur di karpet murahan yang menutup lantai ruang tengah. Gus
Dur tampak santai dan tidur amat lelap. Kepalanya hanya tersangga bantal
sandaran kursi.
Perihal
Gus Dur suka tidur di karpet sudah diketahui oleh Ahmad Tohari sejak lama. Ketika naik haji
bersama pada 1988, saat tidur di hotel, Gus Dur memilih karpet daripada kasur
kelas satu kamar hotel berbintang lima. Tapi, itu karpet kualitas super.
Ahmad Tohari percaya, Gus Dur melakukan semua itu dengan enak, tanpa pretensi apa pun. Tapi,
istri Ahmad Tohari menjadi tak bisa tidur dan sepanjang malam sering mengusap air mata. Ahmad Tohari pun merenung dalam kesadaran bahwa semua perilaku orang berilmu mengandung
pelajaran. Maka, pelajaran apa yang sedang diberikan Gus Dur kepada keluarga Ahmad Tohari?
Bertahun-tahun
pertanyaan itu mengusik jiwanya. Akhirnya, ia mendapatkan jawaban dan
mudah-mudahan mendekati kebenaran. Dengan rela tidur di lantai, Gus Dur
sesungguhnya sedang memberi sebuah pelajaran untuk menyadari hakikat diri bahwa manusia sehebat
apa pun sesungguhnya tidak ada apa-apanya. Kemuliaan adalah hak Allah semata.
Maka, manusia, siapa pun, tidak pantas merasa mulia, tak pantas minta, apalagi
menuntut untuk dimuliakan. Jadi, semua manusia sepantasnya rela tidur di lantai
karena sesungguhnya tak ada kemuliaan baginya melainkan hak Allah.
Mungkin,
jalan pikiran ini terlalu nyufi. Maka, Ahmad Tohari mulai mencari jawaban di wilayah syariat. Rasanya, ia menemukan jawabannya, yakni pada rukun
Islam yang pertama, syahadat. Setelah syahadat (taukhid) diucapkan fasih dengan
lisan, dibenarkan dengan akal yang dipercaya dengan hati. Lalu? Seperti rukun
Islam yang lain, syahadat sebenarnya menuntut implemantasi dalam bentuk
perilaku nyata sehar-hari. Kalau tidak syahadat, hanya akan menjadi simbol yang tidak melahirkan ihsan.
Orang
Islam mana yang tidak tahu bahwa syahadat adalah kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah? Semua tahu, mengerti, dan yakin. Tapi, siapa yang
sudah mengimplementasikan itu dalam kehidupan nyata? Kita memang sudah menjaga
kebersihan syahadat dengan tidak menyembah berhala, tidak percaya dukun, bahkan
mungkin tidak memberhalakan harta maupun kedudukan. Itu sudah hebat sekali.
Namun, masih ada pertanyaan kritis yang menunggu untuk dijawab. Apakah karena sudah
bersyahadat, kita tidak lagi memberhalakan diri dalam segala bentuk dan
manifestasinya?
Merasa bahwa diri sendiri yang paling mulia, istimewa, atau lebih ini lebih itu dari orang lain adalah bentuk awal pemujaan atau peng-ilah-an diri. Tentu saja hal
itu menodai keikhlasan syahadat. Sebab, hanya Allah yang sejatinya mulia,
sejatinya istimewa, dan serba lebih daripada makhluk mana pun. Oleh karena itu,
siapa pun yang ingin memelihara syahadatnya harusnya selalu bersikap tahu diri
kapan dan dimana pun.
Selama hampir 30 tahun Ahmad Tohari bergaul dengan Gus Dur, sikap tahu dirilah yang tampak dan terpancar dari kepribadiannya. Beliau hormat kepada yang tua, sayang
kepada yang muda, dan amat bersahabat dengan teman seusia. Rasa setiakawan beliau
yang mendalam menembus batas ras, agama, status sosial, bahkan batas
kebangsaan.
Dalam satu kalimat, Gus Dur adalah orang yang sangat tahu diri dan menganggap dirinya biasa, sama saja dengan orang lain. Itulah pelajaran dan keteladanan yang Ahmad Tohari
dapatkan. Itulah cara Gus Dur mengajari untuk memelihara syahadat. Caranya,
tidak menganggap diri sendiri mulia atau istimewa, karena keduanya adalah hak Allah.
Dengan demikian, Ahmad Tohari mengerti mengapa Gud Dur rela dan nyaman saja tidur dilantai rumah yang sederhana. Agaknya karena syahadat yang telah terhayati mencegah
diri beliau merasa istimewa atau merasa sebagai manusia mulia. Sementara kebanyakan
dari kita karena tidak menghayati syahadat, sering merasa diri kita sendiri mulia atau
terhormat, atau bahkan menuntut kehormatan. Padahal, sikap seperti itu jelas
mengurangi mutu kesaksian bahwa tidak ada ilah selain Allah. Wallahu a’lam.
Kamis, 17 Maret 2016
Hidup Atau Mati Aku Tetap Bahagia
Suatu hari seorang ibu yang terapung di lautan karena kapalnya karam tampak tetap bahagia. Seorang pemuda yang kebetulan berada didekatnya merasa sangat penasaran dan bertanya kepadanya,
“Bu,bagaimana ibu masih bisa berbahagia dalam kondisi yang tidak menentu ini. Jika pertolongan tidak segera datang, maka kita akan mati.”
Ibu itupun menjawab,
“Saya mempunyai dua orang anak laki laki. Yang pertama sudah meninggal, yang kedua masih hidup di tanah seberang. Seandainya berhasil selamat, saya sangat bahagia karena saya akan berjumpa dengan anak kedua saya. Dan jika ternyata tidak terselamatkan, maka saya juga bahagia karena akan berjumpa dengan anak pertama saya di surga.”
Hikmah dibalik kisah
Berpikir positif dalam keadaan yang sulit membuat seseorang tetap bahagia. Jika kita menyikapi setiap kondisi dengan cara berpikir yang baik, maka apapun kondisinya, kita akan bersyukur. Oleh karena itu, mari kita belajar untuk menyikapi setiap kondisi kita dengan positif.(MA/Syukur)
Sekapur Sirih
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Tiada kata yang terindah kami hembuskan kecuali kata Alhamdulillah. Dengan pertolongan Allah SWT kami dapat menciptakan blog santri ini sebagai media komunikasi melalui dunia maya. Mengingat perkembangan zaman dan kemajuan teknologi yang semakin pesat.
Kami sadar bahwa bentuk blog yang kami ciptakan masih sangat sederhana dan banyak kekurangan (maklum bro…baru belajar). Tentunya kami tidak akan tinggal diam dalam masalah tersebut. Dalam setiap waktu akan kami servis dan perbarui kekurangan –kekurangan tersebut. (harus bro…ojo ngisin-ngisini).
Blog ini akan kami isi berbagai artikel yang berhubungan dengan pesantren dan agama. Selain itu kami juga akan mengisi dengan profil tokoh tokoh agama dan cerita cerita inspiratif.Terima kasih kami ucapkan pada Yayasan dan para pengunjung yang memberikan dukungannya pada kami.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Cinta Tanah Air Sebagai Cermin Keimanan
Cinta tanah air merupakan nilai moral bangsa yang semakin hari semakin menipis. Adanya budaya luar yang masuk secara bebas menjadi salah satu penyebab lunturnya rasa cinta pada tanah air dan semua adat budaya. Bahkan, pada era modern sekarang ini, sulit sekali menemukan remaja yang menghormati ideologi-ideologi negara, bahkan kadang mereka yang tinggal di luar negeri malah malu mengakui kalau dirinya berasal dari Indonesia. Padahal jelas-jelas ada hadits/maqolah yang mengatakan bahwa “hubbul wathon minal iman."
Indonesia merupakan negara yang gemah ripah loh jinawi, negara subur. Negara yang penuh dengan kekayaan, baik kekayaan alam maupun kekayaan seni dan budaya. Di Indonesia juga kita dapat menemukan keindahan alam yang tak ada tandingannya. Tapi mengapa masih banyak orang yang tak cinta bahkan tak mengakui kalau ia adalah orang Indonesia?
Cinta tanah air merupakan salah satu cabang iman yg juga disebutkan dalam nadhom syuabul iman karya Syeikh Zainuddin bin Umar Albantani. Kita sebagai kaum muda wajib bersungguh sungguh menjunjung tinggi nama Indonesia demi meningkatkan derajat keimanan kita. Karena keimanan sebagai pondasi untuk melakukan ibadah. Dan ibadah adalah kunci akhirat.
Perlu kita kaji siapakah orang yang cinta tanah air dan siapa pula perusak tanah air. Orang yg cinta tanah air bukanlah para pejabat yg selalu mengkoar-koarkan rasa nasionalisme, tapi dirinya tetap melakukan hal-hal yang jelas jelas merusak negara. Bukan mereka yang selalu merayakan hari kemerdekaan, tapi tetap melakukan korupsi dan menyengsarakan rakyat. Bukan mereka yang selalu meneriakkan keadilan, tapi malah menginjak-injak keadilan dan membuat kesengsaraan.
Cinta tanah air Indonesia bukan dengan selalu melantunkan nyanyian “Padamu Negeri” atau “Indonesia Raya” dan yang lainnya. Atau dengan memeriahkan peringatan 17 Agustus dengan kegiatan yang kadang bertentangan dengan syari’at Islam. Atau dengan menangis-nangis saat pengibaran bendera merah putih. Tetapi, cinta tanah air ialah dengan mengembalikan aturan hidup pada aturan Allah Ta’ala saja. Dengan itu, keimanan, perdamaian, keadilan, kesejahteraan, dan kebahagiaan pasti akan terwujud. Tanpa itu semua, hanya akan terjadi kesengsaraan yang tak pernah ada ujungnya. (MA/Bsr)
Langganan:
Postingan
(
Atom
)