Kamis, 17 Maret 2016

MA Hasyim Asy'ari Bangsri Gelar Shalat Gerhana Bersama

Tidak ada komentar :
KH. Shofwan Duri sedang menyampaikan khitobah
MA Hasyim Asy’ari Bangsri mengadakan shalat gerhana bersama pada Rabu, 9 Maret 2016 di Gedung Serba Guna MA Hasyim Asy'ari Bangsri. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengajarkan kepada siswa tentang ilmu fiqih. Yaitu tata cara shalat Kusuf (gerhana). Acara tersebut diisi dengan berbagai rangkaian acara. Yaitu dzikir bersama yang dipimpin oleh ust. Abdul Jamil, panduan shalat kusuf oleh Mbah Multazam dan sholat Kusuf yang diimami oleh KH. Shofwan Duri.

Dalam khotbahnya, mbah Duri menegaskan bahwa momen gerhana matahari ini megingatkan kita agar lebih bersyukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan. Mbah Duri juga berpesan bahwa kita harus memperbanyak dzikir dan istighfar untuk melebur dosa-dosa yang telah kita lakukan.

Shalat Kusuf

Dalam ajaran Islam, disunatkan melaksanakan shalat gerhana matahari yang disebut dengan shalat sunat Kusuf. Shalat Kusuf ini tergolong berbeda dengan shalat sunat lainnya, karena dianjurkan untuk memperbanyak bacaan saat rukuk dan sujud. Jika biasanya bacaan rukuk dan sujud hanya diulangi tiga kali, namun dalam shalat Kusuf dibaca hingga ratusan kali. Perbedaan lainnya, setelah rukuk, tangan kembali bersedekap dan membaca surah Al-Fatihah. Setelah itu baru bacaan iktidal seperti biasa. Demikian juga untuk rakaat kedua sehingga seolah empat rakaat, padahal hanya dua rakaat. Shalat dilaksanakan saat gerhana dan dianjurkan berjamaah di masjid. Shalat kusuf juga terdiri atas khutbah dan setelah itu berdoa.

Dijelaskan, Nabi saat itu memerintahkan untuk shalat sunat justru sebagai rasa syukur kepada Allah SWT. Setelah dikaji oleh para ahli, ternyata sikap syukur ini berkaitan dengan matahari yang cukup ekstrim saat berjalannya siklus gerhana. Secara syariah, perintah shalat hampir semuanya dianjurkan saat cahaya sedang sedikit contohnya shalat malam dan sebagainya. Demikian juga untuk shalat wajib. Ini berkaitan dengan kondisi tubuh manusia yang membutuhkan ketenangan dan relaksasi.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,


إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ، وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا


“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah, tidaklah terjadi gerhana karena kematian seseorang, tidak pula karena kelahirannya, maka jika kalian melihat gerhana, berdoalah kepada Allah, bertakbir, sholat dan bersedekah.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah Radhiyallahu’anha]

Beberapa Pelajaran:

1) Dalam hadits yang mulia ini terdapat peringatan untuk memperhatikan tanda-tanda kebesaran dan keagungan Allah ta’ala di alam ini. Bahwa seluruh makhluk yang besar maupun yang kecil, yang bergerak maupun yang diam, di bumi maupun di langit, semuanya tunduk di bawah pengaturan Allah ‘azza wa jalla, maka sudah sepatutnya kita hanya menyembah kepada Allah ta’ala yang satu saja, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.

2) Kewajiban untuk takut kepada Allah ta’ala, karena keagungan dan kebesaran-Nya. Seluruh makhluk tunduk di bawah kekuasaan-Nya. Sangat mudah bagi-Nya untuk menimpakan azab terhadap orang-orang yang durhaka kepada-Nya. Bahkan disebutkan dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu’anhu bahwa ketika terjadi gerhana matahari di masa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam maka beliau sangat takut akan terjadinya kiamat, sehingga beliau bersegera untuk datang ke masjid dan melakukan shalat gerhana.

3) Bantahan terhadap orang-orang yang bersikap ghuluw (berlebih-lebihan, melampaui batas) dalam menghormati orang-orang shalih sampai menganggap kejadian-kejadian di alam ini karena kematian atau kelahiran seorang yang shalih atau ada campur tangan orang-orang shalih tersebut. Maka mereka telah menyekutukan Allah ta’ala dengan orang-orang shalih tersebut dengan dalih menghormati dan memuliakan mereka.

4) Sebagaimana dalam hadits ini juga terdapat bantahan terhadap orang-orang yang menyekutukan Allah ta’ala dengan matahari dan bulan. Padahal, kenyataannya kedua makhluk tersebut hanyalah makhluk yang lemah, selalu tunduk kepada Allah ta’ala, tidaklah patut dipersekutukan dengan Allah jalla wa ‘ala Yang Maha Besar lagi Maha Perkasa.

5) Disunnahkan ketika gerhana untuk bersegera memperbanyak doa, dzikir, istighfar, taubat kepada Allah ta’ala dan bersedekah.

6) Isyarat untuk selalu bersandar kepada Allah ta’ala dalam menghadapi hal-hal yang menakutkan (Lihat Ihkamul Ahkam, 1/239).

7) Juga terdapat isyarat bahwa hal-hal yang menakutkan itu muncul karena dosa-dosa para hamba, maka hendaklah kembali kepada Allah ta’ala dengan beribadah dan memohon ampun kepada-Nya agar Allah ta’ala menghilangkan musibah tersebut (Lihat Ihkamul Ahkam, 1/239).(MA)

Tidak ada komentar :

Posting Komentar