Sabtu, 26 Maret 2016

Belajar Dari Gusdur

Tidak ada komentar :

Siapa yang tidak kenal dengan yang namanya Gus Dur? Sosok yang mempunyai banyak kisah berharga yang bisa kita jadikan motivasi untuk menjadi seseorang yang lebih baik. Berikut ada penggalan kisah dari Gus Dur yang ditulis oleh Ahmad Tohari, salah satu budayawan berdasarkan pengalamannya bersama Gus Dur.


Kanjeng Nabi Muhammad SAW pernah tidur di lantai tanah beralaskan tikar dari daun kurma. Maka, ketika beliau bangun ada bekas guratan daun kurma pada pipi beliau. Hal serupa ternyata juga diamalkan mantan Presiden ke-4 RI KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang beberapa tahun lalu kembali ke haribaan Sang Khaliq.

Pada tahun 1995, Gus Dur tidur dua hari dua malam di rumah Ahmad Tohari yang sederhana di kampung. Malam pertama, Gus Dur mau tidur di dipan kayu yang Ahmad Tohari sediakan. Tetapi, malam kedua beliau memilih untuk tidur di karpet murahan yang menutup lantai ruang tengah. Gus Dur tampak santai dan tidur amat lelap. Kepalanya hanya tersangga bantal sandaran kursi.

Perihal Gus Dur suka tidur di karpet sudah diketahui oleh Ahmad Tohari sejak lama. Ketika naik haji bersama pada 1988, saat tidur di hotel, Gus Dur memilih karpet daripada kasur kelas satu kamar hotel berbintang lima. Tapi, itu karpet kualitas super.

Ahmad Tohari percaya, Gus Dur melakukan semua itu dengan enak, tanpa pretensi apa pun. Tapi, istri Ahmad Tohari menjadi tak bisa tidur dan sepanjang malam sering mengusap air mata. Ahmad Tohari pun merenung dalam kesadaran bahwa semua perilaku orang berilmu mengandung pelajaran. Maka, pelajaran apa yang sedang diberikan Gus Dur kepada keluarga Ahmad Tohari?

Bertahun-tahun pertanyaan itu mengusik jiwanya. Akhirnya, ia mendapatkan jawaban dan mudah-mudahan mendekati kebenaran. Dengan rela tidur di lantai, Gus Dur sesungguhnya sedang memberi sebuah pelajaran untuk menyadari hakikat diri bahwa manusia sehebat apa pun sesungguhnya tidak ada apa-apanya. Kemuliaan adalah hak Allah semata. Maka, manusia, siapa pun, tidak pantas merasa mulia, tak pantas minta, apalagi menuntut untuk dimuliakan. Jadi, semua manusia sepantasnya rela tidur di lantai karena sesungguhnya tak ada kemuliaan baginya melainkan hak Allah.

Mungkin, jalan pikiran ini terlalu nyufi. Maka, Ahmad Tohari mulai mencari jawaban di wilayah syariat. Rasanya, ia menemukan jawabannya, yakni pada rukun Islam yang pertama, syahadat. Setelah syahadat (taukhid) diucapkan fasih dengan lisan, dibenarkan dengan akal yang dipercaya dengan hati. Lalu? Seperti rukun Islam yang lain, syahadat sebenarnya menuntut implemantasi dalam bentuk perilaku nyata sehar-hari. Kalau tidak syahadat, hanya akan menjadi simbol yang tidak melahirkan ihsan.

Orang Islam mana yang tidak tahu bahwa syahadat adalah kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah? Semua tahu, mengerti, dan yakin. Tapi, siapa yang sudah mengimplementasikan itu dalam kehidupan nyata? Kita memang sudah menjaga kebersihan syahadat dengan tidak menyembah berhala, tidak percaya dukun, bahkan mungkin tidak memberhalakan harta maupun kedudukan. Itu sudah hebat sekali. Namun, masih ada pertanyaan kritis yang menunggu untuk dijawab. Apakah karena sudah bersyahadat, kita tidak lagi memberhalakan diri dalam segala bentuk dan manifestasinya?

Merasa bahwa diri sendiri yang paling mulia, istimewa, atau lebih ini lebih itu dari orang lain adalah bentuk awal pemujaan atau peng-ilah-an diri. Tentu saja hal itu menodai keikhlasan syahadat. Sebab, hanya Allah yang sejatinya mulia, sejatinya istimewa, dan serba lebih daripada makhluk mana pun. Oleh karena itu, siapa pun yang ingin memelihara syahadatnya harusnya selalu bersikap tahu diri kapan dan dimana pun.

Selama hampir 30 tahun Ahmad Tohari bergaul dengan Gus Dur, sikap tahu dirilah yang tampak dan terpancar dari kepribadiannya. Beliau hormat kepada yang tua, sayang kepada yang muda, dan amat bersahabat dengan teman seusia. Rasa setiakawan beliau yang mendalam menembus batas ras, agama, status sosial, bahkan batas kebangsaan.

Dalam satu kalimat, Gus Dur adalah orang yang sangat tahu diri dan menganggap dirinya biasa, sama saja dengan orang lain. Itulah pelajaran dan keteladanan yang Ahmad Tohari dapatkan. Itulah cara Gus Dur mengajari untuk memelihara syahadat. Caranya, tidak menganggap diri sendiri mulia atau istimewa, karena keduanya adalah hak Allah.

Dengan demikian, Ahmad Tohari mengerti mengapa Gud Dur rela dan nyaman saja tidur dilantai rumah yang sederhana. Agaknya karena syahadat yang telah terhayati mencegah diri beliau merasa istimewa atau merasa sebagai manusia mulia. Sementara kebanyakan dari kita karena tidak menghayati syahadat, sering merasa diri kita sendiri mulia atau terhormat, atau bahkan menuntut kehormatan. Padahal, sikap seperti itu jelas mengurangi mutu kesaksian bahwa tidak ada ilah selain Allah. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar